Wednesday, September 29, 2010

Cukup Aizzah saja..

(Masih) Saya belum sependapat pada sebagian kalangan yang memberikan interpretasi subjektif mereka tentang definisi akhwat-ikhwan dan akhi-ukhti. Dari pengetahuan saya yang memang cuma sedikit, akhwat itu berarti saudara perempuan, dan ikhwan adalah saudara laki-laki. Tapi sempat beberapa kali terlibat perbincangan, rasa-rasanya arah makna kata-kata itu mulai bergeser dari makna aslinya.

Sekarang ini, jika seorang perempuan mendapat predikat akhwat, berarti secara penampilan dia adalah seorang wanita berbusana muslimah, dengan jilbab yang tidak transparan dan panjang, menggunakan rok maksi, flat shoes dan kaus kaki. Ya itu baik, sangat baik, bahkan agama islam pun mengajarkan demikian. Seorang wanita yang mendapat predikat akhwat biasanya adalah aktifis dakwah kampus, anggota majelis ta’lim, remaja masjid, atau perkumpulan pengajian. Seorang wanita yang mendapat predikat akhwat biasanya mereka yang tumbuh dan besar di pesantren, para hafidzah atau penghafal alquran, para wanita dengan kualitas ibadah yang dianggap baik oleh orang-orang sekitarnya. Lantas, bagaimana jika label akwat dipredikatkan pada seorang muslimah yang masih belum berjilbab? Pada wanita berjilbab yang masih slengean (asal-asalan)? Pada wanita mualaf ber tank-top dan rok mini yang baru memulai belajar islam? Pertanyaannya, apakah boleh? Ya tentu saja dengan huruf capital bercetak tebal, jawabannya adalah BOLEH. Bagaimanapun mereka adalah wanita, saudara perempuan kita. Tapi coba, baurkan mereka dengan para santriwati itu, dengan para aktifis dakwah kampus itu, pada perkumpulan remaja masjid itu, dugaan saya.. akan banyak suara atau bisikan-bisikan mengudara tentang mana yang akhwat dan bukan-akhwat. They’re just different. Pertanyaannya adalah MENGAPA? Mengapa harus ada segmentasi? Mengapa label akhwat itu lantas jadi membatasi? Seperti mengkotak-kotakkan antara mana yang high-quality dan low-quality. Bahkan, label akhwat itu justru malah mengintimidasi sebagian dari mereka yang dianggap bukan-akhwat. Bukankah ibadah yang baik dan jauh dari riya adalah ibadah yang dilakukan diam-diam dan rahasia ya? Bukankah yang demikian itu lebih disukai Allah ya? Dan bukankah setiap manusia itu berproses? Dan bukankah hak menilai itu hanya milik Allah SWT saja? Kelak setiap manusia akan mempertanggungjawabkan setiap apa-apa yang dilakukannya, apa yang dikenakannya. Dan bagi mereka yang berpikir dan selalu berusaha berproses menjadi manusia yang lebih baik, perubahan adalah kebutuhan, kebutuhan adalah panggilan, jadi saran saya, jangan terpaku pada bagaimana cara orang menilai anda, dengarkan dan ikuti panggilan hati anda. Dan saya sudah memutuskan, saya tidak ingin dilabeli akhwat atau ukhti.. Cukup Aizzah saja.. Dan cukup pada bagaimana saya ingin memikat-Nya dengan saya sebagaimana adanya.. tak perlu mengada-ada.. tak perlu penilaian manusia mengganggu saya.. tak perlu..


*dibuat untuk diri sendiri..


Tuesday, September 28, 2010

Pertolongan Allah itu dekat

Tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Dan sadarkah kita bahwa sesungguhnya pertolongan Allah itu sangat dekat? Beberapa hari yang lalu, tepat pada hari Skripsi tugas akhir saya akan disidangkan, ada sebuah peristiwa yang sangat ‘indah’ dan memiliki hikmah tersendiri bagi saya.

Sidang dijadwalkan mulai pukul 15.30. Langit Jakarta bagian selatan ketika itu mendung. Menjelang tepat pukul tiga sore, adzan ashar berkumandang. Saya segera beranjak menuju mushola kampus untuk menunaikan shalat.

“Biar presentasinya lebih tenang..” Pikir saya

Ternyata keran air di mushola kampus mati. Tidak mengeluarkan air sama sekali. Padahal waktunya sudah sangat mepet. Setengah jam itu kan sangat sebentar. Tapi saya mantap. Saya harus shalat dulu. Maka saya mempercepat langkah menuju mushola di kampung belakang kampus saya. Ahh.. syukurlah.. Masih pukul 15.05.. Saya tidak perlu merasa terburu-buru, karena normalnya untuk mencapai kampus (red. Ruang sidang) tidak dibutuhkan waktu sampai lima menit.

Belum sampai saya menggenapkan rakaat ketiga shalat saya, tiba-tiba air seperti tumpah dari langit. Brezzz…. Hati saya pun dengan tanpa menunggu komando ikut gerimis. Terbayang sekilas saya akan sidang dengan pakaian basah kuyup, atau bisa jadi, komputer di ransel saya basah dan jadi rusak.. Gusti Allah.. Tolong.. saya bergumam dalam hati..

Maka saya pun memperpanjang sujud di akhir shalat saya..

“Allah..berikan pertolongan-Mu..” Pinta saya.. berharap akan ada keajaiban, berharap tiba-tiba langit terang dan hujan reda.. T_T

Saya melipat mukena dengan hati gundah, menatap ke luar dengan hampa mendapati hujan yang justru semakin besar, jam dinding mushola menunjukkan pukul 15:20.. Huufh.. Mau nangis rasanya. Lemes..

Saya segera keluar dari mushola, mengingat hajat saya agar tidak basah kuyup sampai waktu sidang, saya reflek merogoh kantong melihat kotak amal di pintu mushola itu. Menyisipkan selembar uang kertas yang saya lipat kecil. (Astaghfirullah, semoga hati saya bersih dari riya dan Allah tidak menggugurkan amalan saya tersebut).

Saya melangkah dan berdiri di teras mushola.. “Allahu Akbar..” Saya membatin, darah saya berdesir, terkejut. Seorang anak perempuan kecil melintas di depan mushola dengan payungnya. Serta merta saya memanggilnya, dan dia pun menghampiri saya..

“Dik.. kamu mau kemana?”
“Mau pulang kak..”
“Ehmm.. Boleh ngga kakak pinjem payungnya?”
“Boleh kak..”
“Alhamdulillah.. nama kamu siapa? Rumahnya dimana? Biar kakak antar kamu pulang dulu ya”
“yang itu kak..” dia menunjuk sebuah rumah yang jaraknya hanya lima meter dari mushola.

Sungguh benar-benar di luar dugaan. Allah selalu punya jalan keluar yang terkadang sukar dicerna nalar.. Alhamdulillah.. saya tidak perlu basah kuyup dan bisa hadir tepat waktu.. ^_^

Saya jadi semakin yakin bahwa dimensi non-logis itu betul-betul eksis ;-)

Finally.. I did it.. I ended it..

*lalumpatan...jumpalitan..kelojotan..kegirangan...*

Assalamu'alaikum..

Alhamdulillahi rabbil alamin.. Segala puji dan syukur dhumateng Gusti Allah Tuhan semesta alam, shalawat dan salam senantiasa tercurah bagi junjungan kita Baginda Kanjeng Nabi Rasulullah Muhammad SAW, para keluarga, beserta shahabatnya..

Alhamdulillah.. Alhamdulillah.. Alhamdulillah..

Sepertinya ribuan tahmid sekalipun tidak akan pernah cukup untuk mengungkapkan betapa bersyukurnya saya hari ini. Hari dimana pagi tadi, perjalanan saya ber-mio ke kampus tidak seperti biasanya, penuh debar dan kesibukan menerka-nerka akan bagaimana nanti saya menutup hari ini. And here I'm.. Menulis sebuah catatan tentang segelintir kisah bagaimana Allah telah mengatur segala sesuatunya dengan sangat sempurna.. dengan indah.. dan tepat pada waktunya.. :-)

Singkat cerita, sore tadi para dosen penguji sepakat meluluskan saya dalam sidang skripsi, yang berarti beban yg tersisa hanya tinggal membuat sedikit revisi dan mengumpulkan naskah skripsinya. Sungguh saya tidak pernah benar-benar bekerja sendiri untuk semua pencapaian ini. Karenanya, melalui catatan ini, dengan segala kerendahan hati saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua rekan-rekan yang di antaranya adalah:

  • Hady Hubaydillah dan Dinar Syilla.. Duo marshmallow berinti titanium. Ganjil-ganjil yang saling menggenapkan.. You know I always be grateful having you both as my best-est. Thank you for loving me, thank you for every moment we spent together, thank you for every magic words you spelled on me.. and many other I couldn’t mention here..
  • Teh susi, Mas Hendra, Mbak Marsel, Mbak Dita, dan rekan-rekan OSS lainnya di MM04.. Makasih..makasih..makasih buat kompornya, buat contekan tugas akhirnya, buat data-datanya..
  • Mas Endro, pembimbing lapangankuuu.. makasih banyak yaahh.. Berhubung sekarang kita jauh, aizz nyanyiin lagu kesukaannya mas endro aja dari sini yaa sbg tanda terima kasih.. Ready? Wan,,tu,,tri,, 'egepe-egepe sori-sori aje emangnye lo pikir elo siape.. Cinta satu malam oh indahnya.. Cinta satu malam buatku melayang.. Walau satu malam akan slalu kukenang..' *sambil godeg-godeg, joged-joged, + goyang jempol*
  • Rani Rachmawati, Mardi Martadinata, Deswara Aji, Cikal Wahyudi, Mas Jaya, Pak Sumar, Pak Gunadi.. Makasih banyak dah nungguin selama sidang yaa.. Maaf jadi membuat kalian kehujanan dan pulang kemalaman..
  • Mas Duta.. Makasih buat pinjeman Black-Jacket nya yaa.. Aizz cuci dan setrika dulu, balikinnya minggu depan yaa :-P
  • Brilly.. Si kecil yang tinggal di belakang kampus yg sudah dengan baik hati meminjamkan payungnya.. Suwun ya nduk..
  • Ahmad Royhan... Yeaayy.. Gw nyusuuuull.. Bener kata lu, ternyata sidang tak semenyeramkan yg gw khawatirkan.. :-P Makasih udah jauh2x dtg dr jogja buat ngebenerin printer gw doang yaa..(wkwkw..pdhl mah mau perpanjang KTP tuuh..)
  • Suryadi, Kak Rifki, Kak Ijal, Kak Yudi, Kak Denny, Pramana, Mas Tri, Mas Agus, Mas Lumut, dan Mas-masku yang lainnya.. ayolaaahh... Mari cepat-cepat kita selesaikan apa yg sudah sama-sama kita mulai empat tahun lalu..
  • Mas Fajar, Mas Luluk.. Suwun buat curhat dan share seputar tugas akhirnya..
  • Kang Uway.. Terima kasih banyak yaah buat semua-muanya.. buat semangatnyaa.. Ayoo jangan mau kalah.. ^_^
  • Dia Yang Belum Bisa Disebut Namanya,,, ow..ow..siapa diaa? Entahlah.. Terima kasih untuk eksistensimu yang walaupun masih abstrak tapi selalu menyenangkan untuk dibayangkan.. kamulah alasan terbesarku untuk cepat merampungkan ini semua.. JJJ
  • Last but not least, semua teman yang ga bisa aizz sebutkan satu per satu di sini. Terima kasih buat semua do’a, dukungan, semangat, dan nasihatnya..

Aizz membuat catatan ini bukan untuk berbangga-bangga, tapi untuk berterima kasih sekaligus berbagi rasa LEGA.. Plooongggg… Suweeerr.. *__*

Akhir kata.. Jazzakumullah Khairan Katsir.. ^_^

Wassalamu’alaikum


Ahad, 26 September 2010

Tuesday, September 21, 2010

Bercita-Citalah

Jangan pedulikan apa yang orang katakan tentang apa yang kau cita-citakan. Jangan permasalahkan bila mereka tidak menghiraukan bahkan memandang sebelah mata cita-citamu. Pun jika mereka meragukan kemampuanmu untuk meraihnya. Tiap-tiap apa yang mereka pikirkan, katakan, ragukan tentang cita-citamu sama sekali tidak memiliki andil apapun dalam pencapaian cita-cita itu. Kamu lah yang paling tahu apa yang kamu mau. Perkara itu adalah hal yang salah atau benar, mudah atau sukar, kamu dibekali akal, pikiran, dan kemampuan untuk memilah dan memutuskannya, dan kelak kamu sendirilah yang akan mengecap hasilnya. Ingatlah bahwa hidup adalah pilihan dan setiap pilihan selalu datang bersama resiko-resikonya. Faktor-faktor eksternal yang datang dari orang-orang di sekitarmu itu bisa saja menjadi masukan untukmu, tapi jangan jadikan sugesti. Tanyakan pada hatimu dan cernalah dengan pikiranmu.

Jika kamu tidak atau belum memiliki cita-cita, maka bercita-citalah.. Atau mungkin kau melupakan apa sebenarnya yang sempat kau cita-citakan, maka mulai berpikirlah untuk kembali mencita-citakannya lantas kembali berjuang untuk mewujudkannya menjadi nyata.. Coba pikirkanlah. Apa artinya hidup tanpa cita-cita? Tragedi. Yaa.. Tragedi.

Thursday, September 16, 2010

Pasangan Impian

"Masih ingat dengan teman Pak Le yang tempo hari Pak Le ajak ke rumahmu?" Pak Le berujar membuka percakapan di antara kami.

"Ehm.. Mas Acip?" aku mencoba mengingat nama orang yg Pak Le maksud tersebut.

"Iya, dia orang yang pengen Pak Le kenalin ke kamu. Yaa Pak Le sih cuma mau ngenalin thok.."

Aku tidak bereaksi. Aku mempersiapkan diri untuk lebih berhati-hati dengan apa yg akan aku katakan pada Pak Le berikutnya. Memang aku sendiri yang tidak menolak ketika beberapa waktu lalu Pak Le bermaksud mengenalkanku pada seseorang..

"Ooohh.. " aku menyambutnya datar.

"Iya.. Si Acip itu anaknya baik. Orang tuanya minta tolong Pak Le untuk nyariin dia istri. Dan dia pun mau saja kalau calonnya itu bisa sayang sama orang tuanya.." Pak Le berujar..

Aku hanya diam menunggu Pak Le selesai dengan apa yang ingin disampaikannya.

"Umurnya sekitar 31 tahun. S1 dari perguruan tinggi di Jogjakarta. Dia orangnya pendiam, tidak pernah pacaran. Dari semua saudaranya yang lain, Acep itu yang paling ganteng lohh. Orang tuanya itu Juragan Bakso di Klender sana. Sudah punya beberapa pintu kontrakan sebagai penghasilan tambahan, sudah punya rumah sendiri di Jakarta. Sedangkan si Acip sendiri, sudah dimodalin bengkel sama orang tuanya. Bengkel yang dikelolanya lumayan ramai. Di kampung sini juga mereka sudah punya rumah. Pokoknya, si Acip pengen usaha apa aja, orang tuanya bersedia memfasilitasi.."

Hatiku seperti diremas. Dari sebegitu panjangnya uraian yg diberikan Pak Le, point paling penting yang aku tunggu-tunggu tak kunjung keluar dari mulut Pak Le. Tapi aku masih menunggu, masih banyak yang ingin Pak Le sampaikan lagi sepertinya..

"Acip itu ngga neko-neko cari istrinya. Sing penting sayang dan perhatian sama orang tuanya. Dia tidak masalah dengan kamu. Makanya dia mau pastikan dulu kalau orang tuanya juga cocok sama kamu. Mendengar cerita tentang kamu juga orang tuanya sangat antusias pengen liat kamu. Makanya, kalau nanti ada kesempatan, ayo kita makan bakso di tempatnya si Acip. Biar orang tuanya Acip bisa melihat kamu juga dan menilai sendiri.."

Huuufhh.. Aku masih datar.. Pak Le sudah berhenti dan tampaknya beliau menunggu reaksiku. Dan sepertinya sia-sia menunggu Pak Le memberikan ulasan yang aku harapkan jika aku tidak menanyakannya secara langsung.

"Ehm.. Pak Le.. Bagaimana dengan sholatnya?"

"Sholatnya rajin kok.. Baca Qur'an juga.." Pak Le terdengar agak terburu-buru dengan jawaban itu.. Entahlah.. Caranya menjawab membuatku tidak cukup yakin seratus persen..

Kami sama-sama terdiam sebentar, lalu aku memberanikan diri bertanya pada Pak Le..

"Pak Le.. Kenapa sih yang Pak Le promosikan tentang Mas Acip ini lebih dominan tentang kondisi materi dan status sosialnya? Memangnya aku keliatan seperti wanita yang matrealistis ya Pak Le?"

"Yo ndak toh nduk.. Cuman melihat ibumu yang berpendidikan, guru, dan pegawai negeri, juga kamu yang Pak Le perhatikan cukup selektif, ya paling tidak kan masalah itu akan lumayan jd bahan pertimbangan tho yo?"

"Ahh Pak Le.. Boleh jadi aku ini agak naive kalo soal itu. Aku cuma kepingin yang agamanya baik, sholatnya tepat waktu. Sederhananya, yang sholeh dan berilmu. Sing bisa jadi imam. Itu saja Pak Le.. Aku tuh kepingin calon anak-anak kami nanti lahir, tumbuh, dan besar dalam keluarga yang islami.."

"dan yang single pastinya ya Pak Le.." cepat-cepat aku menambahkan sambil menyeringai bergurau.

Huufhh..

Aku menunduk menyadari keinginanku yang terlalu muluk.. Arah pandanganku mengawang.. Tanpa berani menatap Pak Le aku kembali berujar..

"Mungkin keinginanku itu terlalu muluk ya Pak Le.. Bukan.. Sungguh bukan karena aku merasa ibadahku sudah baik, atau aku merasa sudah cukup sholeha untuk bisa merasa layak mendapatkan yang seperti itu. Tapi justru karena aku sadar, aku tidak tumbuh dan besar dengan pendidikan agama yang cukup baik. Pengetahuanku tentang islam cethek banget. Aku kepingin seseorang yang bisa membimbing aku belajar Le.."

Aku tersenyum getir dan membatin, 'Kalau saja Pak Le tau betapa tidak percaya dirinya aku tentang keinginanku itu..' pun jika ada lelaki sholeh dan berilmu seperti itu, pastilah ia juga menginginkan wanita dengan kualitas yang sama sepertinya. Tak sekali-kali pun yang seperti aku ini menjadi wanita yang ia pertimbangkan untuk menjadi pilihannya.

Aku jadi salah tingkah tertangkap basah oleh Pak Le yang tersenyum mendapatiku yang tampak mendung. Aku cuma mesem..

"Nanti kalau sudah di Jakarta, bilang saja sama Pak Le kamu kapan sempatnya.."

"Nanti dulu lah Pak Le.. Aku belum tau bagaimana tata cara atau proses kapan seharusnya mesti ketemu orang tuanya calon pasangan. Lagipula aku sama mas Acip belum pernah berinteraksi secara langsung. Kalo langsung dipertemukan dengan orang tuanya sekarang-sekarang ini, sepertinya terlalu buru-buru dan kurang bijak. Walaupun sebentar, biarkan kami berproses saling mengenal dulu. Khawatir belum ada kecocokan, paling tidak kalau orang tua belum terlibat, tidak perlu banyak orang yang kecewa kalau akhirnya memang tidak jadi. Kalaupun nantinya cocok, sepertinya juga tetap butuh beberapa kali istikharah supaya bisa lebih mantap. Aku percaya, kalau memang jodoh pasti akan ada jalannya. Aku terima kasih banget loh sama niat baik Pak Le ini.." Aku tersenyum mantap. Paling tidak, itu adalah sikap terbaik yang bisa aku ambil saat ini.

Rejeki dan Jodoh memang dua hal yang sudah Allah persiapkan untuk masing-masing kita. Bergaransi. Pasti. Namun tidak seharusnya hal itu lantas membuat kita berpangku tangan, diam menunggu, dan menerima begitu saja tanpa memilah. Diam, hanya menunggu, dan menerima begitu saja bukanlah bentuk kepasrahan seorang hamba pada kehendak yang dipilihkan Tuhannya.

Semuanya itu adalah masih rahasia Allah. Dan cara kita menyikapi rahasia-rahasia Allah adalah dengan mengupayakannya melalui ikhtiyar. Berusaha, berdoa, meluruskan niat, mengupayakan yang terbaik dalam kapasitas kita sebagai manusia namun tetap menyerahkan hasil akhirnya pada Allah.. serta ikhlas pada sebaik-baik pilihan yang ditetapkan Allah pada kita..


Tegal 14 September 2010

Wednesday, September 1, 2010

[Berkah Ramadhan] Alhamdulillah.. Saya Tidak Jadi ke Makasar

“Agar pedihnya ujian terasa ringan, hendaklah engkau tahu bahwa Allah-lah yang mengujimu. Yang Menimpakan takdir-Nya kepadamu adalah juga Yang biasa Memberimu sebagus-bagusnya pilihan..”

21 Agustus 2009 (Ramadhan 1430H)

Genap satu minggu setelah Bapak berpulang ke rahmatullah. Anggaplah itu adalah fase kehidupan bagi setiap manusia, dan giliran saya kehilangan salah satu orang terkasih saya adalah pada satu minggu sebelum hari itu. Itu hanya sekedar sebait prolog yang mengawali tulisan saya kali ini. Saya tidak ingin berlama-lama bersedih, karenanya saya putuskan untuk mengaktualisasikan diri dengan kembali bekerja seperti biasa.

Di kantor semua berjalan seperti biasa. Saya bekerja sebagai partner/ third party dalam sebuah life network sebuah operator telekomunikasi terbesar di Indonesia. Karena beban pekerjaan yang lumayan banyak mengejar target Hari Raya idul fitri, seorang rekan yang bersimpati dengan keadaan saya, yang juga khawatir saya masih dalam suasana berkabung, berniat baik membantu saya menyelesaikannya, maka saya pun berbagi user account untuk mengakses life network tersebut. Dan ketika itu pula, sebuah kejadian mengejutkan lain yang sama sekali tidak diharapkan kembali berulang.

Singkatnya, kejadian tersebut memberikan kerugian bagi perusahaan. Tidak penting siapa yang salah, mengapa bisa salah, dan apa yang dipersalahkan, sebab penilaian manusia hanya akan bersifat menyudutkan, tidak memberikan solusi justru sebaliknya makin memperkeruh suasana, maka biarlah Allah saja yang berhak memberi penilaian. Namun karena user account itu adalah kepunyaan saya, maka di sinilah saya yang mendadak dalam waktu singkat menjadi artis yang langsung ‘populer’. Bahkan sampai meninggalkan ‘kesan’ yang cukup membekas pada ingatan salah seorang bos besarnya. Sebut saja Mr.E..

23 Ramadhan 1431H

Hari ini, Ramadhan tahun berikutnya setelah kejadian itu..

“Saya tidak tahu ini kenekatan macam apa.. sederhananya, saya cuma kepingin seperti air yang menjadi jernih karena mengalir..”

Terinspirasi dari sajak milik imam Syafi’I sekaligus kepenatan dan kejenuhan dalam pekerjaan membuat saya berani memutuskan untuk berhijrah ke pulau seberang. Meninggalkan zona nyaman saya.

Mendapati tawaran pekerjaan di Makasar membuat saya senang bukan kepalang. Lama saya memikirkan hal ini, berdo’a pada Allah untuk memberikan kemudahan bagi saya untuk menyelesaikan semua urusan sebelum saya benar-benar terbang, berharap tidak ada kendala dengan membatalkan kesepakatan cuti dengan seorang rekan tandem saya, berharap tidak ada aral yang berarti dengan keputusan mengundurkan diri, berdoa agar seminar pra-sidang saya tidak perlu lagi banyak revisi. Namun tetap, saya menyadari ketidaksempurna’an saya sebagai manusia. Maka di akhir do’a, setelah mendeklarasikan semua list permintaan saya kepada Allah, saya kembali memasrahkan semua pilihan pada-Nya.. Allah Maha Mengetahui semua kebutuhan hamba-Nya, maka dengan segala kerendahan hati, saya memohon.. “Allah yaa Rabb.. Pilihkan apa yang menurut-Mu terbaik buatku.. dan bimbing aku untuk mengikhlaskan apa yang kelak Engkau pilihkan..”

Astaghfirullah, semoga Allah tidak menggolongkan saya ke dalam kumpulan orang-orang yang takabur. Sebab saya ingat betul, ketika HRD Perusahaan yang menawarkan pekerjaan di Makasar mengatakan saya sudah 100% diterima dan akan segera diberangkatkan, cepat-cepat saya beristighfar dan meralat dalam hati, kepastian itu nilainya Cuma 98%, dan ketika seorang teman bertanya, apa yang 2%? Dengan mantap saya menjawab, itu adalah hak preogratif Allah.

Berbekal keyakinan, restu orang tua, do’a, serta kemudahan yang Allah berikan, pagi kemarin lusa saya resmi menandatangani kontrak baru di perusahaan itu. Sorenya saya mengadakan acara buka puasa bersama sebagai wujud rasa syukur atas semua kemudahan yang benar-benar di luar prasangka saya. Benar jika memang Allah adalah Dzat Yang Maha Mengabulkan Do’a. Sungguh, saya merasa kurang nyaman menyebutnya sebagai farewell party (sepertinya memang sudah firasat).

Sampai pada malam harinya, ketika saya sedang packing untuk keberangkatan saya besok, saya baru teringat kalau hape saya mati sore tadi. Saya menyalakannya dan mendapati delapan sms mampir di inbox saya, lima di antranya dari HRD. Saya membalas salah satunya. Tidak lama ia langsung menghubungi saya, dan mengabarkan kalau kontrak kerja saya dicancel. Terkejut? Shock? Pasti.. Usut punya usut, ternyata end-user di Makasar sana adalah Mr. E yang dipindahtugaskan ke area. Dan beliau tidak ingin melibatkan saya lagi di setiap projectnya…

Ya sudahlah.. *Bondan Prakoso mode ON*

Apa yang terjadi ini di luar kuasa saya sebagai manusia. Ini adalah 2% nya Allah. Allah sudah mengatur semuanya untuk saya. Saya berusaha keras mentralisir perasaan saya. Tapi bagaimanapun saya berusaha menjejali pikiran saya dengan pelbagai hal positif, tetap, saya hanya manusia biasa.. Saya tidak bisa mengendalikan dada saya yang kemudian menjadi sesak dan mata saya yang terasa lebih panas dari biasanya. Bagaimana cara menyampaikan ini kepada ibu saya, kepada adik saya yang sudah kembali bersemangat ingin kuliah.. Saya percaya, reaksi mereka akan baik-baik saja jika mereka bisa melihat saya baik-baik saja dan tetap sebersemangat biasanya..

Untung saja saya sedang berada dalam masa ‘cuti’ dari semua ibadah yang wajib. Maka saya gunakan kesempatan itu untuk terpuruk, merenungi, dan mencari hikmah dari semua ini.. Sebuah musibah bisa jadi sebagai suatu bentuk teguran, namun bisa juga sebagai bentuk ujian..

Sebuah pesan dari seorang sahabat kembali menguatkan saya..

“Seandainya kejadian ini adalah bentuk teguran Allah, semoga lu bisa belajar banyak dari ini. Seandainya kejadian ini untuk menaikan derajat lu di mata Allah sebagai manusia, gw doakan semoga nanti lu bisa berhasil dan bisa menjadi berkah bagi dirilu dan orang2 di sekelilinglu. Seandainya kejadian ini adalah bentuk kasih sayang Allah ke lu, semoga lu bisa lebih sayang lagi sama DIA ketika ini semua selesai.”

Maka, saya lebih memilih untuk berprasangka baik pada Allah. Mudah-mudahan ini salah satu cara Allah menunjukkan rasa cemburu-Nya. Ditandatanganinya kontrak di atas materai itu dengan sendirinya secara sah saya berhak memperoleh biaya kompensasi sebesar satu bulan gaji untuk pemutusan hubungan kerja tanpa suatu sebab seperti ini. Saya sudah menyampaikan hal ini pada HRD. Pun ketika mereka tidak menunaikan apa yang menjadi hak saya, maka biarkan Allah yang mengkalkulasinya. Apalagi mengingat ini bulan Ramadhan. Darah saya berdesir menyadari hal ini. Perhitungan ini terlalu rumit dan complex untuk otak manusia saya. Bahkan Allah memberikan saya kesempatan untuk menjamu-Nya di sepuluh hari terakhir Ramadhan ini. Maka di sinilah ujian yang sesungguhnya. Apakah saya akan tetap terpuruk dengan kehilangan ini? Apakah saya bisa memanfaatkan atau malah menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan-Nya? Atau barangkali, apakah saya akan menjadi kikir dan bakhil setelah kehilangan ini? Apakah saya akan menjadi pesimis dan menjadi rendah diri? Pilihan-pilihan itu ada di tangan saya. Saya percaya, Allah telah mempersiapkan ladang-Nya di depan sana untuk saya. Sama seperti ladang ini yang telah dipersiapkan-Nya semenjak tahun kemarin. Jadi, tidak perlu khawatir. Subhanallah.. Walhamdulillah.. Wa Laa ila hailallah.. Allahu Akbar.. Tak sabar rasanya untuk menunggu cuti ini selesai..

Ternyata.. Ikhlas, Sabar, dan Bersyukur nggak semudah mengucapkannya yaa..

Dilema fulltime house wife.. fulltime mother..

 Bismillah,   menjadi full ibu rumah tangga sebenernya sudah jadi cita-cita jadi jaman baheula selagi masih gadis.. Bahkan mimpi itu pernah ...