Wednesday, September 29, 2010

Cukup Aizzah saja..

(Masih) Saya belum sependapat pada sebagian kalangan yang memberikan interpretasi subjektif mereka tentang definisi akhwat-ikhwan dan akhi-ukhti. Dari pengetahuan saya yang memang cuma sedikit, akhwat itu berarti saudara perempuan, dan ikhwan adalah saudara laki-laki. Tapi sempat beberapa kali terlibat perbincangan, rasa-rasanya arah makna kata-kata itu mulai bergeser dari makna aslinya.

Sekarang ini, jika seorang perempuan mendapat predikat akhwat, berarti secara penampilan dia adalah seorang wanita berbusana muslimah, dengan jilbab yang tidak transparan dan panjang, menggunakan rok maksi, flat shoes dan kaus kaki. Ya itu baik, sangat baik, bahkan agama islam pun mengajarkan demikian. Seorang wanita yang mendapat predikat akhwat biasanya adalah aktifis dakwah kampus, anggota majelis ta’lim, remaja masjid, atau perkumpulan pengajian. Seorang wanita yang mendapat predikat akhwat biasanya mereka yang tumbuh dan besar di pesantren, para hafidzah atau penghafal alquran, para wanita dengan kualitas ibadah yang dianggap baik oleh orang-orang sekitarnya. Lantas, bagaimana jika label akwat dipredikatkan pada seorang muslimah yang masih belum berjilbab? Pada wanita berjilbab yang masih slengean (asal-asalan)? Pada wanita mualaf ber tank-top dan rok mini yang baru memulai belajar islam? Pertanyaannya, apakah boleh? Ya tentu saja dengan huruf capital bercetak tebal, jawabannya adalah BOLEH. Bagaimanapun mereka adalah wanita, saudara perempuan kita. Tapi coba, baurkan mereka dengan para santriwati itu, dengan para aktifis dakwah kampus itu, pada perkumpulan remaja masjid itu, dugaan saya.. akan banyak suara atau bisikan-bisikan mengudara tentang mana yang akhwat dan bukan-akhwat. They’re just different. Pertanyaannya adalah MENGAPA? Mengapa harus ada segmentasi? Mengapa label akhwat itu lantas jadi membatasi? Seperti mengkotak-kotakkan antara mana yang high-quality dan low-quality. Bahkan, label akhwat itu justru malah mengintimidasi sebagian dari mereka yang dianggap bukan-akhwat. Bukankah ibadah yang baik dan jauh dari riya adalah ibadah yang dilakukan diam-diam dan rahasia ya? Bukankah yang demikian itu lebih disukai Allah ya? Dan bukankah setiap manusia itu berproses? Dan bukankah hak menilai itu hanya milik Allah SWT saja? Kelak setiap manusia akan mempertanggungjawabkan setiap apa-apa yang dilakukannya, apa yang dikenakannya. Dan bagi mereka yang berpikir dan selalu berusaha berproses menjadi manusia yang lebih baik, perubahan adalah kebutuhan, kebutuhan adalah panggilan, jadi saran saya, jangan terpaku pada bagaimana cara orang menilai anda, dengarkan dan ikuti panggilan hati anda. Dan saya sudah memutuskan, saya tidak ingin dilabeli akhwat atau ukhti.. Cukup Aizzah saja.. Dan cukup pada bagaimana saya ingin memikat-Nya dengan saya sebagaimana adanya.. tak perlu mengada-ada.. tak perlu penilaian manusia mengganggu saya.. tak perlu..


*dibuat untuk diri sendiri..


No comments:

Dilema fulltime house wife.. fulltime mother..

 Bismillah,   menjadi full ibu rumah tangga sebenernya sudah jadi cita-cita jadi jaman baheula selagi masih gadis.. Bahkan mimpi itu pernah ...