Thursday, September 16, 2010

Pasangan Impian

"Masih ingat dengan teman Pak Le yang tempo hari Pak Le ajak ke rumahmu?" Pak Le berujar membuka percakapan di antara kami.

"Ehm.. Mas Acip?" aku mencoba mengingat nama orang yg Pak Le maksud tersebut.

"Iya, dia orang yang pengen Pak Le kenalin ke kamu. Yaa Pak Le sih cuma mau ngenalin thok.."

Aku tidak bereaksi. Aku mempersiapkan diri untuk lebih berhati-hati dengan apa yg akan aku katakan pada Pak Le berikutnya. Memang aku sendiri yang tidak menolak ketika beberapa waktu lalu Pak Le bermaksud mengenalkanku pada seseorang..

"Ooohh.. " aku menyambutnya datar.

"Iya.. Si Acip itu anaknya baik. Orang tuanya minta tolong Pak Le untuk nyariin dia istri. Dan dia pun mau saja kalau calonnya itu bisa sayang sama orang tuanya.." Pak Le berujar..

Aku hanya diam menunggu Pak Le selesai dengan apa yang ingin disampaikannya.

"Umurnya sekitar 31 tahun. S1 dari perguruan tinggi di Jogjakarta. Dia orangnya pendiam, tidak pernah pacaran. Dari semua saudaranya yang lain, Acep itu yang paling ganteng lohh. Orang tuanya itu Juragan Bakso di Klender sana. Sudah punya beberapa pintu kontrakan sebagai penghasilan tambahan, sudah punya rumah sendiri di Jakarta. Sedangkan si Acip sendiri, sudah dimodalin bengkel sama orang tuanya. Bengkel yang dikelolanya lumayan ramai. Di kampung sini juga mereka sudah punya rumah. Pokoknya, si Acip pengen usaha apa aja, orang tuanya bersedia memfasilitasi.."

Hatiku seperti diremas. Dari sebegitu panjangnya uraian yg diberikan Pak Le, point paling penting yang aku tunggu-tunggu tak kunjung keluar dari mulut Pak Le. Tapi aku masih menunggu, masih banyak yang ingin Pak Le sampaikan lagi sepertinya..

"Acip itu ngga neko-neko cari istrinya. Sing penting sayang dan perhatian sama orang tuanya. Dia tidak masalah dengan kamu. Makanya dia mau pastikan dulu kalau orang tuanya juga cocok sama kamu. Mendengar cerita tentang kamu juga orang tuanya sangat antusias pengen liat kamu. Makanya, kalau nanti ada kesempatan, ayo kita makan bakso di tempatnya si Acip. Biar orang tuanya Acip bisa melihat kamu juga dan menilai sendiri.."

Huuufhh.. Aku masih datar.. Pak Le sudah berhenti dan tampaknya beliau menunggu reaksiku. Dan sepertinya sia-sia menunggu Pak Le memberikan ulasan yang aku harapkan jika aku tidak menanyakannya secara langsung.

"Ehm.. Pak Le.. Bagaimana dengan sholatnya?"

"Sholatnya rajin kok.. Baca Qur'an juga.." Pak Le terdengar agak terburu-buru dengan jawaban itu.. Entahlah.. Caranya menjawab membuatku tidak cukup yakin seratus persen..

Kami sama-sama terdiam sebentar, lalu aku memberanikan diri bertanya pada Pak Le..

"Pak Le.. Kenapa sih yang Pak Le promosikan tentang Mas Acip ini lebih dominan tentang kondisi materi dan status sosialnya? Memangnya aku keliatan seperti wanita yang matrealistis ya Pak Le?"

"Yo ndak toh nduk.. Cuman melihat ibumu yang berpendidikan, guru, dan pegawai negeri, juga kamu yang Pak Le perhatikan cukup selektif, ya paling tidak kan masalah itu akan lumayan jd bahan pertimbangan tho yo?"

"Ahh Pak Le.. Boleh jadi aku ini agak naive kalo soal itu. Aku cuma kepingin yang agamanya baik, sholatnya tepat waktu. Sederhananya, yang sholeh dan berilmu. Sing bisa jadi imam. Itu saja Pak Le.. Aku tuh kepingin calon anak-anak kami nanti lahir, tumbuh, dan besar dalam keluarga yang islami.."

"dan yang single pastinya ya Pak Le.." cepat-cepat aku menambahkan sambil menyeringai bergurau.

Huufhh..

Aku menunduk menyadari keinginanku yang terlalu muluk.. Arah pandanganku mengawang.. Tanpa berani menatap Pak Le aku kembali berujar..

"Mungkin keinginanku itu terlalu muluk ya Pak Le.. Bukan.. Sungguh bukan karena aku merasa ibadahku sudah baik, atau aku merasa sudah cukup sholeha untuk bisa merasa layak mendapatkan yang seperti itu. Tapi justru karena aku sadar, aku tidak tumbuh dan besar dengan pendidikan agama yang cukup baik. Pengetahuanku tentang islam cethek banget. Aku kepingin seseorang yang bisa membimbing aku belajar Le.."

Aku tersenyum getir dan membatin, 'Kalau saja Pak Le tau betapa tidak percaya dirinya aku tentang keinginanku itu..' pun jika ada lelaki sholeh dan berilmu seperti itu, pastilah ia juga menginginkan wanita dengan kualitas yang sama sepertinya. Tak sekali-kali pun yang seperti aku ini menjadi wanita yang ia pertimbangkan untuk menjadi pilihannya.

Aku jadi salah tingkah tertangkap basah oleh Pak Le yang tersenyum mendapatiku yang tampak mendung. Aku cuma mesem..

"Nanti kalau sudah di Jakarta, bilang saja sama Pak Le kamu kapan sempatnya.."

"Nanti dulu lah Pak Le.. Aku belum tau bagaimana tata cara atau proses kapan seharusnya mesti ketemu orang tuanya calon pasangan. Lagipula aku sama mas Acip belum pernah berinteraksi secara langsung. Kalo langsung dipertemukan dengan orang tuanya sekarang-sekarang ini, sepertinya terlalu buru-buru dan kurang bijak. Walaupun sebentar, biarkan kami berproses saling mengenal dulu. Khawatir belum ada kecocokan, paling tidak kalau orang tua belum terlibat, tidak perlu banyak orang yang kecewa kalau akhirnya memang tidak jadi. Kalaupun nantinya cocok, sepertinya juga tetap butuh beberapa kali istikharah supaya bisa lebih mantap. Aku percaya, kalau memang jodoh pasti akan ada jalannya. Aku terima kasih banget loh sama niat baik Pak Le ini.." Aku tersenyum mantap. Paling tidak, itu adalah sikap terbaik yang bisa aku ambil saat ini.

Rejeki dan Jodoh memang dua hal yang sudah Allah persiapkan untuk masing-masing kita. Bergaransi. Pasti. Namun tidak seharusnya hal itu lantas membuat kita berpangku tangan, diam menunggu, dan menerima begitu saja tanpa memilah. Diam, hanya menunggu, dan menerima begitu saja bukanlah bentuk kepasrahan seorang hamba pada kehendak yang dipilihkan Tuhannya.

Semuanya itu adalah masih rahasia Allah. Dan cara kita menyikapi rahasia-rahasia Allah adalah dengan mengupayakannya melalui ikhtiyar. Berusaha, berdoa, meluruskan niat, mengupayakan yang terbaik dalam kapasitas kita sebagai manusia namun tetap menyerahkan hasil akhirnya pada Allah.. serta ikhlas pada sebaik-baik pilihan yang ditetapkan Allah pada kita..


Tegal 14 September 2010

No comments:

Dilema fulltime house wife.. fulltime mother..

 Bismillah,   menjadi full ibu rumah tangga sebenernya sudah jadi cita-cita jadi jaman baheula selagi masih gadis.. Bahkan mimpi itu pernah ...