Wednesday, January 26, 2011

Aku dan Mamak

"ibuu..."

Aku menyongsong Ibu sepulang dari hari pertamaku di TK A.

"Bu..Kenapa teman-teman aizz punya Mama sedangkan aizz enggak?"

aku mendongak bertanya pada ibu. Beliau terlihat heran sambil berpikir.

"Hmmm.." beliau menuntunku masuk sambil melepas satu per satu atribut sekolahku.. Kebetulan ketika itu Simbah keluar dari dapur, lalu beliau berkata..

"Sekarang aizz punya Mama, panggil Simbah Mama mulai sekarang yaa.."

Begitulah cerita ibuku ketika aku bertanya mengapa aku jadi memanggil Simbah dengan sebutan Mamak.

Sejak balita aku sudah dititipkan pada Mamak. Beliau tidak bisa membaca, tapi jangan ditanya jika soal matematika, hitungannya bisa di luar kepala, apalagi kalau soal uang belanja. Mamak bukan wanita berpendidikan atau kepala sekolah seperti Nenek ku yang satunya lagi di Jakarta. Tapi dari Mamak lah aku bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi cucu kesayangan.

Aku tumbuh dan besar dalam asuhan beliau. Bahkan aku juga bisa jadi sebegini gendut karena memang masakan Mamak yang tob markotob, beyond comparison. Aizz kecil memang sangat nakal dan manja. Terbiasa jadi satu-satunya dan menguasai segalanya. Mendominasi televisi di rumah tetangga, tak pernah terima kalah dalam permainan, kadang sampai berbuat anarki pada kawan yang lemah, membuat mereka menangis lalu kabur begitu saja. Aizz kecil tak suka mendengarkan. Dibilang tengok kanan-kiri sebelum menyeberang jalan, malah nantang, walhasil malah terserempet motor. Dan Mamaklah yang menjadi paling khawatir ketika itu. Dinasehati jangan melompat-lompat di atas lubang akhir pembuangan (anggap saja muaranya selokan) oleh teman sepermainan, malah nekat melompat semakin tinggi, walhasil malah terjerembab ke kubangan menjijikan sedalam tiga meter itu. Untung saja, teman yang tidak terhasut ikut melompat-lompat itu cepat-cepat meminta pertolongan warga setempat. Satu-satunya hal yang paling aku ingat dari kejadian itu adalah, rasa air got itu tidak enak, menjijikan. Sumpah. Aku serius soal itu. Dan acara penyelamatan aizz kecil, acara memamandikannya, dan mengantarnya ke tempat tidur menjadi tontonan gratis seru oleh warga sekampung ketika itu. Makin tersohorlah ia.. Dan tetap, Mamak tak pernah memarahi ku soal itu.

Bermain air di kali, berburu udang, atau mencari undur-undur di tanah, menangkap capung, mengumpulkan lalat, kadang juga diam-diam mencuri tebu di ladang orang, mengendap-endap dari pengawasan mandor, membolos dari mengaji hanya untuk nonton Sailor Moon, balapan sepedah, dan masih banyak lagi kegiatan anak yang sangat tidak wanitawi dilakukan si aizz kecil. Mamak cuma terlihat gusar menyaksikannya, sekali lagi, tak pernah banyak bicara, melarang, atau memarahinya..

Tahukah? Bahkan sampai kelas 3 SD aku tak pernah bisa membersihkan kotoranku sendiri. Aku akan menunggu Mamak atau bahkan sampai berteriak histeris memanggilnya jika aku terlalu lama menunggunya. Dan Mamak yang ketika itu sedang berbelanja di warung yang jaraknya seratus meter akan segera datang. Bukan karena mendengar teriakanku, tapi karena tetangga-tetangga yang keberisikan secara estafet menyampaikannya..

"Mak Piah.. Itu si aizz teriak-teriak.."

Maka kemudian Mamak akan lari terbirit-birit. (Demi Tuhan untuk yang satu ini aku merasa bersalah dan menyesal sekali..)

Kemarin malam, sekitar pukul 12 tengah malam, beliau masih terjaga menungguku pulang. Paman menjemputku di stasiun. Sudah hampir tiga bulan aku tidak pulang. Dan tahukah, aku tak pernah bisa merasa tidak terharu setiap kali beliau menyambutku membukakan pintu. Pada tiap kepulangan yang berbeda, sosoknya semakin renta namun tetap dengan tatapan rindu dan cinta yang sama banyaknya seperti sebelum-sebelumnya, bahkan lebih. Aku memeluknya, dan ia tak hentinya menciumi pipiku..

Keinginannya selalu sederhana. Cukup bawakan buah jeruk dan jambu air saja, itu akan sangat menyenangkannya. Dan kali ini aku membawakannya sebingkai besar foto wisuda ku dan beberapa foto lain yang kami ambil melalui kamera ponsel dalam acara itu. Aku sengaja mencetaknya banyak-banyak. Berharap beliau akan senang melihatnya. Melihatku, anak-menantu, dan cucu-cucunya yang lain di Jakarta..

Beliau membalik tiap halamannya satu demi satu, berkaca-kaca kemudian meneretaskan air mata, dan terus menciumi foto-foto itu. Ucap syukur dan doa tak henti-hentinya mengalir dari bibir Mamak. Sesekali beliau menatap sendu foto almarhum Bapakku yang menggantung di dinding ruang tamu. Seperti menyayangkan beliau tak sempat menyaksikannya..

Acara wisuda, menjadi sarjana, yang semula bukan apa-apa, cuma hal biasa yang ku anggap terlalu berlebihan untuk dibanggakan, tak pernah kusangka akan begitu membahagiakan untuk seorang renta yang tak bisa membaca dan tak sekolah ini.

Ketika aku sendiri tak cukup menghargai pencapaian ini, Mamak melakukannya jauh lebih baik dari aku.

Ketika yang lain kuliah dan berjuang menjadi sarjana untuk mendapat karir yang lebih baik, untuk meningkatkan prestise, maka aku melakukannya untuk membahagiakan Mamak.

Aku bangga. Bukan karena telah jadi sarjana dan telah diwisuda, tapi karena aku bisa membuat Mamak bahagia.

Sampai pukul dua dini hari aku baru berhasil membujuk Mamak untuk kembali beristirahat.. Hmm.. Pulang memang selalu dapat memberikan perasaan menyenangkan.

Ketika dunia memberimu seribu alasan untuk mengeluh, berhenti, dan menyerah pada semua masalah, percayakan Allah pasti menyediakan setidaknya satu alasan yang mampu menguatkanmu menyelesaikan masalah-masalah itu..



*kalau saja Mamak bisa membaca dan mengerti bahasa Indonesia

Mamak.. I always love the way you make me feel being loved, being missed, being so meaningful. You know, you have all my heart, love, and attention. Thank you for your warmth, patience, innocence, thank you for or your existence.. <3

No comments:

Dilema fulltime house wife.. fulltime mother..

 Bismillah,   menjadi full ibu rumah tangga sebenernya sudah jadi cita-cita jadi jaman baheula selagi masih gadis.. Bahkan mimpi itu pernah ...