Wednesday, March 17, 2010

Ketika Mencintai..

Saya mencintainya. Seseorang. Darinya saya belajar tentang esensi mencintai dan dicintai. Dia, pria terbaik dalam hidup saya. Darinya saya tahu, bahwa mencintai adalah kata lain dari pengorbanan tak bertepi, tanpa pamrih, sepenuh hati, meski letih, perih tanpa sekalipun mengeluh. Ia lah si Tak Pernah lelah yang tak kenal menyerah, luar biasa sabar, penuh kasih sayang, bijaksana, sarat teladan.


Genggamannya mampu meyakinkan saya bahwa ia selalu ada untuk saya, saya aman bersamanya. Mendekap saya adalah caranya menyampaikan "tenang, semua baik-baik saja." Pundaknya adalah tempat bersandar paling nyaman sedunia. Dia adalah problem solver saya. Saya tak perlu siapa-siapa lagi selama ia ada. Ia mencukupkan saya atas semuanya. Ia lah alasan saya untuk bermimpi, bangkit dan mewujudkanya jadi nyata.


Namun, semua tak lagi menyenangkan ketika saya tahu ia tak sebaik itu. Pria ini menghinati saya. Ia menyembunyikan ketidaksetiaannya pada saya. Ia mencurangi saya. Seketika saya berhenti memujanya. Saya tak lagi mengacuhkannya. Saya kehilangan dunia saya, saya menghindarinya. Ironis, pria ini berubah menjadi sumber masalah saya, ia berusaha terus menggenggam, tetapi saya enggan. Saya tak lagi hirau. Cukup pada kenyataan menyakitkan bahwa tak ada lagi ia di sana untuk saya. Sandaran paling nyaman sedunia saya sudah tak ada. Mimpi-mimpi saya hilang. Ia mengubah hidup saya menjadi tragedi. Bukankah hidup tanpa mimpi adalah sebuah tragedi? Menyedihkan.

Saya tersiksa. Sampai pada bulan ketiga, pria ini sakit. Selama tiga hari, saya selalu bersamanya. Bermalam menjaganya. Menyakitkan, sangat, ketika dalam waktu bersamaan saya harus menyaksikan orang yang paling saya cintai sekaligus telah menghianati saya meregang nyawa. Saya memaafkan, sepenuhnya, sungguh, berharap Tuhan mau berbaik hati untuk membuatnya tetap hidup sebagai reward karena saya telah memaafkan. Penghianatannya itu tak penting lagi sekarang. Pada detik terakhir saya menangis sejadi-jadinya, memaksa Tuhan untuk mengabulkan keinginan saya. Tetap, saya tak mampu meluluhkan-Nya. Mungkin saya terlalu sombong itu, sampai harus menunggu tiga bulan, menunggunya sekarat, untuk bisa memaafkan. Saya menyesal.


Terengah-engah saya berlari, berhenti pada titik tak ingin diusik. Menikmati sesak. Meratap. Merana. Nelangsa. Mencoba menelusuri dimana akhir dari sebuah keharusan untuk menerima. Mencari tahu mengapa ikhlas harus selalu beriring pilu, mengapa kekuatannya yang selama ini saya imani tak jua mampu menguatkan saya. Saya tetap lumpuh tanpanya. Kini rasa cinta saya pada jiwa yang sudah tak lagi beraga hanya sebatas kata, mengalir tanpa tau kemana ia akan bermuara. Kosong. Hampa. Sakit. Semua asa, cita, dan cinta meluruh seiring ketiadaannya.


Kalau saja pilihan itu masih ada, dan saya berhak atasnya. Maka dengan sangat rela hati saya bersedia menukar kebahagiaan seluruh hidup saya dengan keberadaanya, mengabdikan diri pada rasa sakit seumur hidup saya, dengan segala keterbatasannya, menggenggam erat tangan saya, menjadi sandaran saya, mendekap saya, menyelesaikan semua masalah saya dengan senyumnya, menguatkan saya dengan kelemahannya.


Semakin menyesakkan ketika saya menyadari bahwa pesan moral dari penghianatannya bukanlah "semua pria itu brengsek dan kamu tak membutuhkan pria untuk bisa berdiri" , melainkan "persiapkan hatimu untuk bisa selembut udara, sekeras baja, seluas dan sedalam samudera sebelum kamu jatuh hati pada seorang pria. Karena sungguh, seseperti malaikat apa pun mereka, mereka tetaplah manusia biasa yang terlalu absurd untuk tidak berbuat salah". Ketidaksetiaannya berkata bahwa ketidakmungkinan adalah hal yang tetap saja mungkin. Tak selamanya sebelanga susu harus rusak hanya karena setitik nila. Tidak adil tidak memaafkan sebuah kekhilafan setelah ribuan kebaikan.


Saya mencintainya. kemarin, hari ini, esok, selamanya..

No comments:

Dilema fulltime house wife.. fulltime mother..

 Bismillah,   menjadi full ibu rumah tangga sebenernya sudah jadi cita-cita jadi jaman baheula selagi masih gadis.. Bahkan mimpi itu pernah ...