Wednesday, March 17, 2010

Eksklusif

Berangkat dari diskusi menyenangkan dengan seorang kawan, note dari teman semasa SMP dulu, sekaligus debat-sengit-tapi-lumayan-konstruktif dengan kenalan dari pulau seberang, saya tergerak untuk membuat catatan kecil ini. Sungguh tiga percakapan tanpa rencana yang membuat semangat saya kembali berfluktuasi setelah lebih dari satu minggu stuck di posisi yang sama.

***
Entah darimana datangnya ide ini, tiba-tiba saya ingin meremove foto-foto saya di facebook. Tidak ada alasan khusus. Tidak terencanakan. Cuma ingin saja. Hanya saja, saya tidak serta merta langsung menghapusnya. Saya masih menyisakan beberapa. Saya belum yakin benar dengan keinginan saya yang tiba-tiba itu. Beberapa foto teman dan segelintir foto diri saya yang saya anggap best-pose tetap saya keep. Hemm..mungkin itu salah satu sisi gelap saya sebagai manusia yang masih haus pujian dan dengan-tololnya merasa bangga - merasa senang ketika beberapa orang menganggap foto saya itu cantik. Saya bukan manusia setengah dewa yang saklek dengan undang-undang nirwana. Karenanya saya berkompromi dengan diri saya untuk 'membiarkan' saja perasaan-perasaan semacam itu nongkrong di salah satu serambi gelap rumah batin saya.. Polemik itupun berlalu seiring waktu. Saya punya kesibukan lain selain berkutat dengan akun facebook saya.


Tidak lama berselang, saya terlibat diskusi dengan seorang kawan. Jika saya boleh menyebutnya sebagai suatu kebetulan, maka foto-foto dalam album facebook sayalah yang 'kebetulan' membawa kami pada diskusi tersebut. *Walaupun dari perspektif yang berbeda, tidak ada suatu hal pun yang kebetulan di dunia ini, semua sudah tersimpan dan terprogram dalam mega server Lauful Mahfuz : mengutip dari KCB2*


Kawan saya yang sedang berselancar di halaman facebook saya berkomentar..

Kawan: "temen-temen kamu cantik ya.."

Saya: "cuma temen-temen saya doang nih? >_<" gurau saya menanggapi komentar kawan saya itu.

Kawan: "temen kamu ngga ada yang model2x akhwat gitu ya?"

Saya mengernyit. Saya merasa terusik dengan statementnya itu. Sejauh yang saya tahu, definisi akhwat adalah perempuan. Saya berpura-pura tidak mengerti apa yang dimaksudnya. Saya berusaha tak acuh dengan definisi akhwat dalam masyarakat yang berarti wanita muslimah dengan rok-maksi, berkaos kaki, dan berjilbab panjang sampai ke pinggang. Dan foto-foto dalam album saya itu, termasuk saya didalamnya, tidak masuk dalam golongan akhwat versi masyarakat, sekalipun kami semua berada dalam balutan jilbab.

Saya : "ehm..akhwat itu bukannya perempuan ya? Apa appearance kami ga cukup menunjukkan kalau kami perempuan?" saya menanggapinya dingin.. "memang definisi akhwat menurut kamu apa?"

Kawan : "oh maaf.. Saya salah tulis" ia mencoba mengelak.

Saya yang merasa tidak cukup "akhwat" kembali melontarkan komentar sinis..

"oh..ternyata hape masih dinilai dari casingnya yah. Pantes banyak orang suka gonta-ganti hape, bahkan ga cukup dengan satu hape"

Dari situlah diskusi kami merangkak dari malam menuju pagi. Saya yang menjadi pihak yang sedikit tidak terima karena tidak dianggap sebagai "akhwat" terus menerus protes. Mempertanyakan mengapa ia seolah-olah memposisikan kami satu level dibawah akhwat versi masyarakat hanya karena penampilan kami. Tidakkah inner beauty dan personality trait sama pentingnya dengan appearance. Apa hanya karena kami bercelana jins dengan pakaian dan jilbab tidak segombrong "akhwat" lantas kami dijadikan pilihan kedua.

*ahh..mengapa semuanya menjadi rumit yah kalau sudah berurusan dengan perempuan.. :D *

Panjang dan lebar kawan saya menjelaskan. Mencoba memperbaiki situasi karena merasa lawan diskusinya sedang emosi. Berhati-hati agar tidak salah tulis lagi. Ya, saya mengerti.

Saya mengerti jauh sebelum ia menjelaskan. Pun akhirnya saya harus mengakui. Saya hanya cemburu, saya iri. Karena saya belum bisa seperti apa yang mereka sebut "akhwat".

***
Saya mengantuk paginya. Mengantuk mengingatkan saya pada apa yang saya lakukan semalam. Saya jadi ingat lagi pada diskusi semalam. Kenapa yaa masih terasa menyebalkan..huufh.. Padahal saya sudah sepakat untuk melupakannya.

tiba-tiba sebuah notifikasi mampir di halaman facebook saya. Seorang teman baru saja membuat note. Dia menandai saya dalam catatannya.

Dia adalah teman semasa SMP dulu. Dalam catatannya ia mengulas (lagi-lagi) terinspirasi dari foto dalam facebook salah seorang temannya.

Isi catatannya seperti memberi pembelaan pada apa yang tengah saya rasakan ketika itu. Bahwa apa yang terlihat dalam facebook itu bisa saja menipu. Yang terlihat cantik belum tentu cantik, yang terlihat baik belum tentu benar baik, yang terlihat tidak baik juga belum tentu benar-benar tidak baik. Kemasan itu bisa saja menipu. Penampilan itu bukan jaminan. Oiya, saya lupa bilang, kalau teman saya ini adalah "akhwat". Kombinasi busananya tidak jauh dari rok-maksi, kauskaki, dan jilbab panjang-sepinggang. Seketika saya ingin memeluknya. Saya malu, karena justru ia lah, salah satu representasi rival saya dalam dsikusi tadi malam, justru menjadi seseorang yang mampu menghibur saya dengan catatannya.

***

Tidak lama berselang, seorang kenalan dari pulau seberang menyapa saya di yahoo messenger..

Kenalan: "hey..sombong yaa sekarang..”

Saya : “Halo.. apa kabar? Kok sombong?”

Kenalan: “Gimana acara liburannya nih? Seruu dong wiken sama pacar? Kiss.. hug.. Uhm.. so young and in love..xixixi..”

Bagai disambar petir di siang bolong, saya kaget bukan kepalang dihujani berondongan pertanyaan tidak sopan semacam itu. Saya merasa reaksi saya berikutnya adalah normal. Kesal. Jengkel. Orang ini tidak biasanya kasar seperti itu.

Saya: “Huss sembarangan yaa kalo ngomong”

Kenalan: “Loh memang kenapa? Ada yang salah dengan pertanyaan saya?”

Kami pun beradu argumen siang itu. Saya yang merasa keberatan dengan pertanyaannya, dia yang tetap keukeuh bahwa tidak ada yang salah dengan pertanyaannya. Dia bilang tidak ada niat melecehkan, tapi saya bilang niat itu tidak kasat mata, tidak ada yang tahu.. Sampai pada satu kalimat yang saya ingat betul terlontar dari saya berikutnya..

“Sebabnya seseorang berprasangka tidak baik pada kita bukan semata-mata karena cara berpikirnya yang sempit dan tidak positif, tapi terkadang kita lupa, bahwa disadari atau tidak, kita sendirilah yang menciptakan paradigma mereka. Begitupun sebaliknya..”

Nyess..saya seperti sedang melontarkan kalimat itu pada diri saya sendiri. Saya kembali teringat dengan kawan saya semalam. Bisa saja saya yang mengundangnya untuk melontarkan pertanyaan itu. Tapi yang terjadi, saya terlalu egois untuk turut sepakat pada eksklusifitas yang ia predikatkan pada "akhwat". Saya belum sepakat.. sejujurnya.. bahkan saya merasa terdeskriditkan..

Fffuiiih.. tapi saya menghargai. Sungguh. Memang tidak mudah menyamakan paradigma untuk bisa berada pada frekuensi yang sama. Hidup adalah pilihan. Saya percaya, setiap manusia itu berproses pada apa yang menjadi pilihannya. Hanya saja, pilihan dan waktu yang dibutuhkan setiap manusia untuk berproses itu berbeda-beda. Saya menghargai mereka dengan pilihan-pilihannya sekalipun terkadang saya butuh waktu untuk bisa mencerna, untuk memutuskan apakah saya akan sepakat dengan pilihan itu, atau justru tetap berada dalam zona saya yang tetap berada pada pilihan dan alasan-alasan saya..

No comments:

Dilema fulltime house wife.. fulltime mother..

 Bismillah,   menjadi full ibu rumah tangga sebenernya sudah jadi cita-cita jadi jaman baheula selagi masih gadis.. Bahkan mimpi itu pernah ...