“Jangan lari!”
“Jangan kesitu!!”
“Jangan nangis!!”
“Nggak boleh ngomong begitu!”
Jangan begini, jangan begitu, tidak boleh ini, tidak boleh
itu dan masih banyak lagi jangan-jangan dan tidak-tidak yang sering saya dengar
di lingkungan tempat tinggal saya. Biasanya kalimat-kalimat larangan itu
terlontar dari mulut ibu-ibu kepada balita mereka.
Beberapa tahun yang lalu saya tidak merasa terganggu dengan
kalimat-kalimat itu. Sampai pada kesempatan saya menghadiri sebuah workshop
parenting, saya baru mengerti bahwa kalimat yang biasa saya dengar sehari-hari dan
saya anggap lumrah itu ternyata sangat berbahaya. Dari situlah kepedulian saya
terhadap perkembangan balita mulai bertumbuh.
“Berhenti menggunakan kata ‘tidak’ dan ‘jangan’!”
Demikian Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari, direktur
Auladi Parenting School atau saya lebih senang memanggil beliau dengan sebutan Abah
Ican yang ketika itu menjadi narasumber berpesan.
Pesan itu melekat di otak
saya dengan baik. Secara bahasa, kata ‘tidak’ memang menunjukkan bentuk kalimat
negatif bukan? Begitu pula jika kita terapkan hal itu terhadap anak. Apalagi jika
kita mau mempelajari lebih dalam lagi, bahwa sesungguhnya kemampuan otak
manusia pada usia anak-anak adalah masa – masa emas, dimana mereka mampu
mengingat bahkan meniru apa yang mereka lihat dan dengar dengan sangat baik. Pada
usia-usia inilah karakter dan kepribadian seorang anak bisa kita bentuk ke arah
yang positif. Maka dari itu, di usia dimana anak memiliki keingintahuan yang
besar amat saya sayangkan jika kita membatasi perkembangannya dengan kata-kata ‘tidak’
ataupun ‘jangan’. Banyak kata-kata padanan pengganti lain yang bisa kita
gunakan. Walaupun berdasarkan perspektif kita kata ‘tidak’ dan ‘jangan’ itu
dimaksudkan untuk tujuan yang baik, kurang tepat rasanya jika melulu digunakan
kepada anak-anak. Pilihlah kalimat dengan maksud yang sama namun dengan
pemilihan kata yang lebih positif dengan nilai rasa yang lebih baik dan hangat.
Lantas, bagaimana
kemudian saya menerapkannya? Saya belum menikah dan mempunyai anak. Referensi belajar
saya pun terbatas. Well, no excuse!!
Saya jadi mulai tertarik untuk mendalami tentang bagaimana
memaksimalkan potensi anak pada periode perkembangan di masa-masa emasnya ini. Beruntung,
saya mempunyai hubungan yang cukup baik dengan tetangga di sekitar tempat saya
yang memiliki balita. Saya membandingkan respon anak saat dilarang dengan kata ‘tidak’
dan ‘jangan’ dengan kalimat padanan yang saya coba temukan sendiri. Berikut ini
adalah perbandingan sederhana yang saya coba terapkan di lingkungan tenpat
tinggal saya.
Dira dan Sri Mulyani adalah balita berusia dua tahun. Suka sekali
berlari, berceloteh, dan bermain dengan hal-hal yang baru di sekitar mereka. Sri
Mulyani adalah anak yang sering dititipkan ke saya dan hubungan kami terbilang
cukup dekat. Oleh mamanya, Dira selalu dilarang berlari,
“Jangan lari!”
Dan apa berikutnya yang dilakukan Dira? Yap, dia justru semakin kencang berlari. Terjatuh dan menangis dengan kencang. Anda tahu apa yang dikatakan mamanya?
Dan apa berikutnya yang dilakukan Dira? Yap, dia justru semakin kencang berlari. Terjatuh dan menangis dengan kencang. Anda tahu apa yang dikatakan mamanya?
“Mama bilang juga apa? Udah jangan nangis!”
Dira justru menangis semakin kencang.
Saya mencoba untuk menggunakan perlakuan yang berbeda kepada
Sri Mulyani. Ketika dia berlari, saya mengawasinya, sampai waktunya dia
terjatuh, saya lantas menghampirinya, membantunya berdiri dan berdialog ringan
dengannya,
“Sakit? Mana yang sakit?” Sri Mulyani dengan muka seperti
ingin menangis menunjukkan lututnya. Saya usap sambil menasehatinya,
“Lain kali kalau lari harus hati-ha?”
“ti..” ia melanjutkan kalimat saya dengan suara cadelnya.
Sambil
menggandengnya pulang saya terus mengulang kalimat, “Kalau jalan pelan-pelan,
kalau lari hati-hati.” Saya percaya, apa yang saya lakukan lebih memberi nilai
positif pada Sri Mulyani. Tidak diperbolehkan menangis sama saja membatasi anak
untuk mengeksplorasi perasaannya. Menangis itu adalah cara seorang anak belajar
menunjukkan perasaannya. Jadi tidak apa-apa.
Cerita lain, ketika Sri Mulyani melihat gunting tergeletak. Benar
saja, dia mengambilnya dan kebingungan sendiri bagaimana menggunakannya. Mungkin
beberapa Ibu akan serta merta melarang anak memegang gunting dan menyuruhnya
segera meletakkan gunting itu. Tapi saya penasaran, apa jadinya kalau saya
biarkan. Saya mendekatinya,
“Itu apa dek?”
Ia melihat saya, kebingungan menamai benda di tangannya.
“itu gun?”
“ting..” ia melanjutkan.
Kemudian saya mengambil gunting
dari tangannya dan mengambil kertas dari majalah. “sini liat mbak, begini cara
pakainya..” Saya menuntunnya menggunakan gunting, kemudian saya serahkan
padanya untuk melanjutkan. Saya mendampinginya. Luar biasa sekali hasilnya. Lima
lembar kertas majalah sukses menjadi serpihan kertas oleh Sri Mulyani. Sampai
saatnya ia bosan sendiri, ia kemudian meletakkan gunting dan menghampiri saya
yang berada tidak jauh darinya.
“Udah? Bosan?” ia mengangguk.
“Yuk sekarang kita rapihkan sampahnya.”
Saya hanya menemaninya memulai memunguti sampah bekas ia
main gunting, 80% ia sendiri yang menyelesaikannya. Saya bangga, saya senang. Anak-anak
tidak selamanya monster cilik yang harus selalu disikapi dengan ancaman dan
intimidasi. Mereka adalah mahluk luar biasa yang butuh diarahkan dengan
kesabaran, ketelatenan, dan pengawasan yang baik. Anak-anak adalah manusia
kecil yang mudah sekali dialihkan perhatiannya. Selagi kita belum menemukan
padanan kata pengganti ‘tidak’ atau ‘jangan’, pilihan lain yang bisa kita ambil
adalah mengalihkan perhatiannya pada sesuatu yang lain.
Bertumbuh dengan lingkungan yang positif, dalam
sebaik-baiknya batasan yang bisa kita upayakan, semoga saja anak-anak kita
kelak bisa menjadi pribadi inspiratif yang mampu mengubah dunia menjadi tempat
yang lebih baik. Amin
Ayo bunda, mari kita sama-sama belajar dan memperkaya diri
dengan ilmu.. salam